Wanita, sosok yang seringkali dianggap lemah. Dianggap tak berdaya dan seringkali dianiaya. Tak banyak yang tahu dibalik kelemahannya tersimpan sebuah kekuatan, dibalik tangisnya tersimpan keteguhan yang dalam. Salah satu icon menarik dari wanita tangguh yakni Cut Nyak Dien. Wanita berdarah Aceh ini lahir pada tahun 1848 di Daerah Lampadang. Ayahnya, Teuku Nanta Seutia adalah seorang pejuang tangguh, uleebalang sekaligus komandan perang pada masanya. Ibunya bernama Cut Nyak, seorang wanita hebat yang turut mendukung militansi suaminya. Ia belajar banyak kebijaksanaan dari suaminya dan mendidik Cut Nyak Dien tumbuh menjadi gadis cantik yang cemerlang. Ia pintar, jelita, juga memiliki karakter yang kuat seperti ayahnya, dan hati selembut ibunya.
Paduan dua kepribadian yang sungguh elok antara Cut Nyak dan Teuku Nanta telah mendidik Cut Nyak Dien menjadi wanita luarbiasa. Jika kebanyakan wanita terkenal karena ia jelita, maka lebih dari itu, Cut Nyak Dien bagaikan sebongkah intan yang tidak hanya indah namun kokoh. Kondisi peperangan yang menyelimuti Tanah Aceh tidak membuatnya gentar. Ia justru mantap merias dirinya dengan ilmu bela diri, belajar memanggul senjata untuk maju ke medan perang. Tanpa takut mati melawan kaphe yang keji, melawan penjajah yang telah merobek kedamaian negeri dan memecah belah kesatuan umat muslim dalam skala yang lebih besar. Mereka menindas, merampas seakan telah hilang otak warasnya. Namun Aceh tak semudah yang mereka pikirkan, banyak pejuang tangguh yang rela membayar jiwanya dengan syahid, mengorbankan apa saja demi kemuliaan negeri dan agama. Tak hanya lelaki, pun sama halnya dengan wanita.
Cut Nyak Dien, ia memilih keluar dari kenyamanan kaum bangsawan, maju menghadapi lawan demi janji kemenangan atau syahid dijalan-Nya. Sungguh itulah harapan Cut Nyak Dien, salah besar jika sebagian orang menganggapnya sebagai bentuk dari emansipasi. Sungguh yang membuat Ia maju dengan berani hanyalah panggilan keimanan, hanya itulah yang membuatnya mampu menyingkirkan ketakutan, mengesampingkan perasaan kasihannya ketika harus menjadi perantara malaikat izrail. Keteguhannya bahkan membuat kaphe Belanda menaruh perhatian lebih padanya. Mereka tahu Cut Nyak Dien bukanlah wanita biasa, ia berbeda. Ia menjadi sumbu semangat suaminya Teuku Ibrahim, ia juga menjadi obor api yang menyalakan kesadaran kaum perempuan untuk melawan. Jika tidak dengan berperang setidaknya mereka bisa ikut dalam barisan perawat atau dengan menrelakan anak lelakinya ikut berperang. Menyemangati suami mereka untuk terus mengobarkan Perang Sabil sampai penjajah pulang dan mereka menang. Hanya itu pilihannya.
sPeperangan yang tanpa henti akhirnya mencoba menguji nyali Dien dengan syahidnya Teuku Ibrahim dalam dekapan peperangan. Air mata itu tumpah juga, bagaimanapun Dien tetaplah seorang wanita. Namun kesedihan itu tak dibiarkannya menggerogoti jiwa dan keimanannya. Justru kesedihan itu berbuah ketegaran yang semakin kokoh karena ia memahami kalam cinta dari Tuhannya , serta janji keindahan yang lebih abadi sebagaimana termaktub dalam hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Bukhari “Dan ketahuilah bahwa surga itu berada dibawah naungan pedang” . Maka tidak ada alasan untuk meratapi kesedihan sedang ia tahu bahwa suaminya telah dikarunia surga oleh Rabb Semesta Alam.
Setelah kepergian Teuku Ibrahim, datanglah seorang panglima yang tak kalah gagahnya. Panglima dari Meulaboh yang ingin meminangnya dengan segenap hati. Bukan karena kecantikannya, hanya demi satu niat tulus menjaga bunga pejuang itu. Melindunginya dan membersamainya untuk terus melawan, meski entah harus sampai kapan. Lelaki yang menaruh hormat terhadap Teuku Ibrahim, meski ia tahu saat itu Dien telah menjadi miliknya. Di malam pertamanya ia justru dengan khidmat mengatakan bahwa Ia takkan pernah mungkin menggantikan posisi Teuku Ibrahim di hati Dien, ia tahu itu, namun ia tetap memilih melindungi Dien. Sungguh ksatria sejati yang sulit untuk dicari.
Bersama Teuku Umar, ketangguhan Dien semakin mekar. Mereka mengarungi kebersamaan dalam peperangan. Bahagia mereka sederhana, hanya dengan melihat musuh bersimbah darah, itu lebih dari cukup. Namun peperangan tak kunjung menjanjikan kemenangan dan kedamaian. Semakin hari kaphe-kaphe Belanda semakin kuat mencengkram Aceh. Sejengkal demi sejengkal tanah yang diberkahi itu jatuh dalam kekuasaan mereka. Membuat gentar orang-orang yang dihatinya terbersit keraguan akan janji Allah. Perlahan, jumlah pasukan berkurang, baik karena banyak yang syahid maupun karena adanya keraguan dihati sebagian dari mereka. Waktu dan tantangan telah menyeleksi mereka, menyisakan pejuang tangguh yang benar-benar siap mengabdi pada Allah semata, tanpa terbuai janji dunia yang fana.
Lagi, kenyataan pahit harus diterima oleh Dien. Peperangan lagi-lagi merampas kebahagiaan Dien. Teuku Umar syahid menyusul syahidnya para pejuang-pejuang tangguh lainnya. Peperangan memang tak pernah mengenal belas kasih. Air mata itu jatuh kembali. Namun ia ingat pesan Ibunya, “Pantang bagi kita menangisi orang yang syahid” . Setelah tangisnya reda. Ia hanya diam. Diam dalam kesendirian. Diam dalam keadaan perang yang semakin mencekam. Diam dengan segala tanda tanya yang semakin dalam. Bagaimana nasib Aceh selanjutnya...? Semua hanya diam. Tak ada yang menjawab.
Sepeninggal dua ksatria tangguh serta pejuang-pejuang Aceh lainnya yang turut gugur dalam peperangan tanpa henti. Semakin lama kobaran perang sabil semakin redup. Mereka yang tersisa berusaha untuk terus mengobarkan kembali semangat rakyat Aceh yang sudah terlampau letih dengan peperangan. Namun keadaan telah banyak berubah. Hingga akhirnya perang sabil benar-benar berubah menjadi perlawanan gerilya. Namun Dien tetap teguh. Tak sedikitpun menyerah, meski kondisi kesehatannya semakin memburuk, peglihatannya mulai kabur. Ia tetap memegang erat pendiriannya, menggenggam kebencian terhadap kaum penjajah tanpa bisa ditawar. Bahkan disaat banyak orang mulai menikmati hidup bersama penjajah dengan segala kebaikan palsu yang mereka torehkan. Dien muak melihatnya, Ia lebih memilih mengasingka diri di hutan daripada harus hidup berdampingan dengan kaum penjajah yang bengis. Tak seorangpun berhasil membujuknya. Ialah mawar disemak belukar itu. Perlambang wanita tangguh. Jelita yang tak mau menyerah hingga meski semua orang telah berkata “sudah”. Hingga akhirnya, penjajah berhasil menangkapnya. Ia tidak menyerah, masih meraung dengan keberaniannya “Pergi kau kaphe atau ku bunuh kau,”
Sungguh sebuah keberanian yang menggentarkan penjajah. Mereka bahkan memberi gelar kebanggaan dengan memasukkany ke dalam daftar tujuh kategori Warlord Women in the World. Sungguh luar biasa, ialah Cut Nyak Dien, si mawar di tengah belukar. Sosok wanita yang kian menginspirasi, meski banyak yang telah melupakannya. Mari menoleh pada sejarah, melihat kembali fakta yang pernah ada dan menggali banyak pelajaran dan kebijaksanaan dari setiap penggalan kisah yang telah terlewat.
*Catatan
Setelah ditangkap oleh Belanda, Cut Nyak Dien diasingkan di Sumedang dan meninggal pada tahun 1906. Semoga Allah merahmatinya dan menghadiahkan jannah padanya.
0 comments :
Post a Comment