Aku begitu tertarik dengan negeri matahari terbit, entah sejak kapan mulainya. Satu hal yang begitu pasti adalah aku terus jatuh cinta dengan negeri matahari terbit itu meskipun kini sudah menempuh pendidikan S1 di jurusan teknologi idustri pertanian di kampus yang katanya menjadi idaman banyak orang. Kampus dengan almameter berwarna biru dongker, yang biasa disebut dengan nama kampus pertanian. Sebenarnya usai menempuh jenjang Sekolah Menengah Atas, aku ingin sekali melanjutkan kuliah di Jepang, tapi sepertinya takdir berkata lain. Kedua orangtuaku tidak mengizinkan dengan pertimbangan jarak dan masalah ekonomi. Memasuki tahun kedua di kampus pertanian ini, aku masih menyimpan mimpi itu, masih sama bergairahnya dengan dulu untuk bisa kuliah di negeri sakura itu. Ah, jika tak bisa sarjana disana, pasca sarjana pun tak apa, tapi terlalu lama rasanya. Ah, menunggu memang selalu begitu.
Aku masih berkutat didepan laptop. Sibuk. Tanganku dengan gesit memasukkan keyword ‘pengalaman kuliah di Jepang’ di kolom search engine. “Aih, ini dia yang ku cari” Seruku girang. Ternyata alumni kampusku juga ada yang mendapat beasiswa ke Jepang. Harapanku kembali bersinar “If he can, why i can’t...?” . Ia memperoleh beasiswa U to U. Program beasiswa ini adalah program beasiswa U to U antara IPB dengan Tokyo University of Agriculture atau yang biasanya dikenal dengan sebutan Tokyo Nodai (singkatan dari Toukyou Nougyou Daigaku). Program ini adalah program S1 yang sepenuhnya dibiayai oleh Tokyo Nodai, di mana setiap tahunnya di bawah program yang diberi nama Special Foreign Student Scholarship (特別留学生-tokubetsu ryuugakusei), Nodai menerima 1-2 orang mahasiswa asing dari berbagai sister-university.
Untuk Indonesia, sister-university Nodai dalam program ini adalah IPB. Biasanya setiap tahun IPB melakukan seleksi dan kemudian mengirimkan 2 orang mahasiswanya yang terpilih untuk menyelesaikan program S1 di sana. Tingkat berapa pun mahasiswa yang terpilih, nantinya akan memulai kembali dari awal semester 1. Namun SKS yang sudah didapat bisa ditransfer sehingga dapat membantu mengurangi jumlah SKS yang diperlukan untuk kelulusan.
3 bulan kemudian
Setelah 1 bulan yang lalu disibukkan dengan perburuan beasiswa. Seminggu yang lalu disibukkan dengan kertas dan berkas-berkas penting. Kini perjuanganku terbayar sudah. Ya, hari ini aku menginjakkan kaki di negeri matahari terbit. ‘Hadza min fadli Rabbi’ bisikku mengucap syukur.
Hari-hari pertama di Jepang, aku belajar banyak hal, beradaptasi dengan lingkungan, makanan, cuaca dan tentunya juga bahasa. Baju dingin menjadi salah satu pakaian wajib di musim dingin ini. Untuk masalah bahasa sendiri, aku rutin mengikuti kursus bahasa Jepang mengingat program beasiswa U to U tidak menyediakan program bimbingan belajar bahasa dan budaya ditahun pertama seperti beasiswa lainnya.
Di Jepang, aku menemukan orang-orang begitu sibuk. Semua waktu digunakan dengan baik, untuk les, belajar,kerja dsb. Waktu kerja karyawan di Jepang berkisar sekitar 18 jam. Untuk perkuliahan tak jarang kami masuk jam 07.00 a.m dan harus pulang jam 10.00 pm. Bisa dikatakan orang Jepang adalah orang-orang yang gila kerja dan belajar, tak heran tentunya mereka bisa begitu cerdas dan maju. Satu lagi budaya Jepang yang tak kalah unik dan luarbiasa adalah budaya disiplin. Budaya ini terlihat jelas telah mengakar di masyarakat, mulai dari jam masuk kuliah, jam buka toko, sampai pemberangkatan kereta semuanya terjadwal dengan pasti, tidak lebih dan tidak kurang. Persis tepat. Orang Jepang tidak menerima alasan untuk keterlambatan apalagi dengan dalih bahwa jam kita lebih lambat, karena pengaturan waktu di Jepang sama persis untuk seluruh wilayahnya.
Di Tokyo Nodai, aku mendapat teman-teman yang juga sangat baik, baik sesama mahasiswa asing maupun mahasiswa asli Jepang. Mereka cukup ramah dan sangat toleransi dengan perbedaan. Mereka juga mengajariku bahasa Jepang dan menceritakan banyak hal tentang Jepang mulai dari budaya, makanan khas dan sebagainya. Di akhir pekan yang tidak sibuk mereka dengan senang hati mengajakku berlibur, mulai dari menikmati sushi dan mie ramen di pinggiran kota sampai pergi ke tempat wisata seperti Tokyo Tower, Tokyo Imperial Palace dan lainnya. Minggu ini Terumi juga berencana mengajakku ke kuil Sensoji, kuil tertua di Tokyo. Sebenarnya aku tidak begitu tertarik dengan ajakannya.
“Kuil...?” tanyaku memastikan.
“Ya, jangan kira kuil hanya bangunan sejarah atau tempat ibadah saja, di sensoji selain bangunan kuilnya yang tua, disana ada banyak tempat menarik lho Rara-chan. Disana ada Ojoin (perpustakaan dan ruang sekolah), dan taman yang indah. Sebelum masuk Kannondo Hall kita juga bisa berkunjung ke Nakamise Douri (Nakamise Shopping Street) yang terletak di sepanjang Nakamise Street.” Jelas Terumi panjang lebar.
“Ada banyak souvenir dan juga makanan disana, harganya juga murah-murah. Dan yang tak kalah menariknya kita juga bisa meramal keberuntungan kita. Ramalan kuil sensoji terkenal ketepatannya lho...!” Tambah Miko meyakinkan.
“Baiklah...” jawabku sambil tersenyum. Tak elok rasanya menolak kebaikan mereka.
***
Angin menyapa dengan lembut. Senang rasanya musim dingin telah berlalu. Baju dingin sudah tak lagi menjadi kewajiban dan aku bisa kembali dengan style pakaianku yang biasa. Hari ini kami menggunakan pakaian terbuka untuk merayakan terbebasnya dari baju dingin yang tebal dan menyesakkan itu. Aku menggunakan dress berwarna biru dengan sweater putih. Kami masuk melalui Kaminarimon, gerbang megah yang juga menjadi simbol dari Asakusa (nama lain dari Kuil Sensoji). Di bagian tengahnya terdapat lampion besar yang menjadi ciri khas dari kuil ini. Di kanan dan kiri gerbang terdapat dua patung dewa pelindung, yaitu Raijin (Dewa Petir) dan Fujin (Dewa Angin). Setelah melewati gerbang utama, tibalah kami di Nakamise Douri. Sebuah jalan sepanjang kurang lebih 200-250 meter. Meski tidak terlalu luas, di Nakamise Douri ini terdapat sekitar 100 toko yang menjual berbagai macam barang, mulai dari aksesoris, fashion, snack, souvenir serta oleh-oleh khas Jepang lainnya. Asyik berburu aksesoris dan jajanan kami melanjutkan perjalanan. Kami memasuki Hozomon Gate yang menjadi pintu masuk Kannondo Hall . Di sebelah kirinya ada pancuran air. Orang-orang yang datang sibuk mencuci mulut dan tangannya dengan air tersebut.
“Ayo kesana...” ajak Miko.
“Untuk apa..? apa kita juga harus mencuci mulut dan tangan seperti mereka..? tanyaku.
“ Ya, untuk membersihkan diri.” Jawabnya.
Aku hanya mengekor, melakukan apa yang mereka lakukan. Hal aneh lainnya yakni banyak orang yang berebut asap dari sebuah dupa besar. Entah untuk apa. Ditambah bau kemenyan yang menyengat. Aku sungguh tidak menyukainya.
“Kemarin kamu bilang sering sakit kepala kan?” Tanya Terumi.
Aku hanya mengangguk.
“Mari kesana, ia menunjuk dupa besar yang mengeluarkan asap itu.”
“Apa hubungannya..?” tanyaku heran.
“ Kami meyakini asap dari dupa itu dapat menyembuhkan apapun dan memberikan kesehatan, makanya orang-orang yang berkunjung ke kuil ini mengusap seluruh badannya dengan asap dari dupa itu. Aku menggelengkan kepala.
“Tidak, aku tidak tertarik, sama sekali tidak logis, bukan?” tanyaku. Alasan yang lebih besar dari semua itu adalah menyangkut keyakinanku sebagai seorang muslim. Hal tersebut jelas bertentangan dengan akidah islam dan masuk ke dalam perkara syirik.
Kuil ini begitu ramai. Lihatlah banyak orang berkumpul mulai dari anak-anak hingga orangtua. Ah, ternyata ditengah kesibukan orang Jepang mereka masih tetap menyempatkan diri untuk beribadah.
“Ah ya, beruntung sekali kita pergi ke kuil hari ini” ucap Terumi
“Ya, aku baru ingat hari ini adalah hari upacara setsubun...” tambah Miko
“Pantas saja ramai, apa itu upacara setsubun...?” tanyaku pada keduanya.
“Ayo, upacara akan segera dimulai.” Miko menarikku ikut membaur ke tengah kerumunan.
Di atas kuil ada seorang laki-laki menggunakan topeng bergambar aneh dengan 2 tanduk di kepalanya. Kalau aku boleh menebak mungkin itu adalah gambar setan. Entahlah. Ku lihat di sekelilingku ramai orang membawa kacang-kacangan seperti kacang kedelai. Terumi yang tadi sempat menghilang kini telah kembali, dan ia juga membawa kacang yang sama.
“Ambil ini .... “ ujarnya sambil memamerkan kacang ditelapak tangannya.
Miko dengan cepat mengambilnya.
Aku menggeleng “ Aku tidak menyukainya...” ujarku pada Terumi.
“No, ini untuk melempar oni Rara chan” jawab Terumi sambil tersenyum
“Oni..?” tanyaku bingung.
“ Ya, pria bertopeng itu” ujarnya sambil menunjuk ke atas kuil.
Aku semakin bingung. “Duh, apaan lagi nih..?”
“Setsubun merupakan upacara yang untuk memperingati pergantian musim, seperti hari ini, pergantiaan antara musim dingin dan musim semi. Nah acara ini bertujuan untuk mengusir arwah jahat dan membawa kebaikan di musim yang baru.” Jelas Terumi.
Orang-orang sibuk melempar kacang sambil membaca mantra "Oni wa soto, fuku wa uchi" (Oni ke luar, keberuntungan ke dalam)
Aku menggeleng dengan tegas “ Maaf aku tidak bisa...”
“Kenapa?” tanya Miko
“Orang hindu, shinto juga sering mengikuti perayaan ini. Angeline yang beragama kristen pun dulu pernah ikut setsubun sekedar untuk senang-senang saja”
“Berbeda dengan mereka aku seorang muslim dan agama kami tak meyakini sesembahan atau ritual seperti itu” jawabku menjelaskan. Mungkin ini salahku karena tidak dari awal memproklamirkan diri sebagai seorang muslim.
“Aku tahu orang muslim tak merayakan setsubun, sepupuku yang seorang muslim pernah mengatakan hal yang sama. Ia bahkan tidak pernah lagi berkunjung ke kuil setelah memeluk islam. Gomenna Rara-chan aku tidak tahu kau seorang muslim karena kau berbeda dari mereka yang biasanya menggunakan kain penutup kepala” Ujar Miko.
Aku terdiam. Kata-kata itu lebih dari cukup untuk menikamku.
Miko buru-buru melanjutkan kalimatnya. “Tapi itu bukan berarti aku meragukan agamamu Rara-chan, gomenna...” Ia membungkukkan badan ketika mengucapkan frase yang terakhir itu.
***
Miko mengetuk pintu apartemen. Aku terkejut melihat siapa yang keluar. Sesosok lelaki Jepang, dengan lesung pipi yang menawan, tapi bukan itu yang membuatku terkesima. Dia sungguh berbeda dengan lelaki Jepang kebanyakan. Ia memakai baju koko berwarna putih lengkap dengan kopiah hitam dikepalanya, khas sekali menandakan bahwa ia seorang muslim.
“Mari masuk...” ujarnya ramah
“ Yuka-neechan kemana? “ tanya Miko padanya.
“ Sepertinya ia sedang belajar agama bersama teman-temannya, sebentar lagi juga biasanya sudah pulang “
“Ini Rara-chan temanku dari Indonesia, ia juga seorang muslim sama seperti kalian. Ia ingin berkenalan dengan Yuka dan muslim lainnya di Jepang. “
Aku menjulurkan tangan ingin bersalaman dengannya, ia hanya membalas dengan 2 tangan yang dirapatkan dan diletakkan di depan dada. Aku canggung dan salah tingkah jadinya. Ia seorang muslim yang sangat taat tentunya sehingga tidak ingin bersentuhan dengan yang bukan mahramnya. Ia juga duduk bersebrangan dengan kami.
“Nama Jepangku Ryu, setelah masuk islam aku memutuskan untuk berganti nama menjadi Thariq. Aku lebih senang dengan nama itu, kau tentu mengenal nama itu bukan..? “ tanyanya.
“ Zahra, tentu ia seorang panglima tangguh yang menaklukkan Andalusia di usia 23 tahun. Sungguh prestasi yang luarbiasa. ”
“Assalamu’alaikum..” ucap seorang wanita yang baru masuk itu. Ia sungguh anggun dengan gamis birunya bermotif bunga sakura, ditambah balutan kain kerudung yang menutupi rambut hingga dadanya. Ah, aku kalah telak dari mereka. Meski baru mengenal islam tapi mereka begitu taat, sedangkan aku terlahir sebagai seorang muslim dengan orangtua muslim dan tinggal di negara muslim tapi justru jauh dari islam itu sendiri.
Miko pamit pulang karena ada janji dengan senpai. Thariq juga pamit ke kamar, meninggalkan aku dan Hanifah. Aku berbincang banyak hal dengannya. Aku begitu tertarik dengan cerita dan pengetahuan keislamannya. Ia benar-benar seorang muslimah yang taat dan lurus, persis seperti namanya. Ia juga mengajakku untuk bergabung dengan komunitas muslimah Jepang untuk mendalami islam dan menjalin silaturrahmi.
4 April 2015 di Musim Semi yang hangat..
Awal april adalah momen yang tepat untuk melihat bunga sakura yang mekar (orang jepang biasa menyebutnya sebagai tradisi Hanami). Kami berkumpul di bawah salah satu pohon sakura yang rindang. Menikmati keindahan mankai (bunga sakura telah bermekaran seluruhnya) sambil berbincang-bincang mengenai islam dan menikmati makanan . Aku bersyukur, bukan hanya karena akhirnya aku bisa menikmati Hanami dan menikmati hangatnya musim semi seperti impianku sejak dulu. Kehangatan yang sesungguhnya yakni berkumpul denga saudari-saudari seiman-ku. Perasaanku serasa sesak dengan sakura yang bermekaran. Bahkan apa yang ku rasakan ini lebih indah dari mankai sekalipun. Perasaan bersyukur karena hari ini akhirnya ku putuskan untuk berhijab. Sebuah keharusan yang harusnya telah aku tunaikan sejak dulu. Aku mendapat banyak pencerahan dari Hanifah. Ia mengajarkanku apa makna sebenarnya dari kehidupan, yakni untuk senantiasa beribadah kepada Allah, menjadikan segala aktivitas kita bernilai ibadah dengan meniatkan semuanya karena Allah dan menjalankan seluruh aktivitas kita berdasarkan pedoman Al-Qur’an dan sunnah, termasuk dalam hal berpakaian yakni dengan menutup aurat secara sempurna atau berhijab. Menggunakan jilbab (gamis) sebagaimana perintah Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 59 dan mengenakan kerudung hingga menutupi dada sebagaimana dalam surat An-Nur ayat 31. Awalnya aku berdalih dengan alasan belum siap dan belum mendapat hidayah, sambil tersenyum ia menjelaskan “Banyak dari kita yang hanya mengharapkan hidayah tauqify, padahal ada hidayah yang lebih besar dan lebih dekat denga kita yakni hidayah khalqiyah dan hidayah irsyad wal bayan. “
“Hidayah tauqify yakni hidayah yang Allah turunkan dengan dibukakannya pintu hati kita sehingga tertunjuki pada sebuah kebenaran, tidak semua orang mendapat hidayah jenis ini. Sedangkan hidayah khalqiyah atau hidayah penciptaan yang Allah berikan kepada seluruh insan berupa akal yang dengannya kita dapat berpikir untuk mencari kebenaran. Adapun hidayah irsyad wal bayan yakni berupa Al-Qur’an dan Sunnah yang berisi nasihat dan penjelasan tentang seluruh dimensi kehidupan kita. Nah, masihkah ada alasan untuk kita menolak syari’at Allah sedangkan Allah telah menghadiahkan hidayah tersebut kepada kita? Dan sebagai mahluk yang diciptakan-Nya bukankah sudah sepantasnya kita bertaqwa kepadanya dengan senantiasa beribadah kepada-Nya dan menjalankn seluruh perintah-Nya.”
Aku tersenyum mengenang kalimat hikmahnya itu. Sejak itu aku memutuskan untuk segera berhijab dan berusaha melaksanakan islam secara kaffah. Bagiku hijab adalah sebuah kewajiban sekaligus identitasku sebagai seorang muslim ditengah ras kulit putih ini. Ah, sungguh hanami tahun ini begitu indah rasanya.
Thursday, January 28, 2016
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
0 comments :
Post a Comment