LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) menjadi salah satu
isu populer yang kini hangat diperbincangkan. LGBT kini mulai meminta ruang
untuk eksistensi dan toleransi dari masyarakat. Tak ayal lagi, kampanye bendera
pelangi mulai bertebaran di sana-sini, menyulut kontroversi dengan beragam
opini. Namun, tunggu dulu kawan sebelum kita asyik berdikusi, mari menoleh
sejenak mengungkap misteri dan jejak kaki dari perjalanan kaum pelangi ini.
LGBT merupakan salah satu bentuk
penyimpangan seksual yang ada ditengah masyarakat. Bukan hanya sekarang, bahkan
berabad-abad sebelum kita mengenal akronim tersebut, sejarah telah mencatat keberadaannya.
Awal mula penyimpangan ini terjadi pada masa kaum Nabi Luth yang tinggal di
daerah Sodom dan Gomorah. Pada saat itu kebanyakan kaum perempuannya lebih
menyukai melakukan hubungan dengan sesama jenis dibandingkan dengan lawan
jenisnya. Diduga penamaan kaum Sodomi ini diambil dari nama daerah dimana mereka
tinggal yakni Kota Sodom atau yang sekarang kita kenal dengan Laut Mati yang
terletak diantara perbatasan Israel dan
Yordania. Seruan dari Nabi Luth agar mereka meninggalkan kemaksiatan tersebut
justru diabaikan, hingga turunlah azab Allah yang kian pedih kepada Kaum Sodom.
Mereka dimusnahkan dalam waktu sekejap saja. Berhamburan bagai debu yang
diterbangkan angin. Kisah yang tak jauh berbeda juga terulang di Pompei,
Italia. Akibat ulah maksiat mereka, Allah mengazabnya dengan ledakkan Gunung
Venesius yang menyemburkan lava panas yang meluluhlantakkan peradaban mereka. Dikemudian
hari fosil-fosil mereka ditemukan dalam keadaan yang begitu menjijikkan. Dalam
posisi bersetubuh antara sesama jenis, Nau’dzubillahi min dzalik.
Dalam peradaban modern, istilah
homoseksual baru dikenal pada tahun 1869 ketika D.R K.M Kertbeny yang
berkebangsaan Jerman-Hongaria menciptakan istilah homoseks atau homo
seksualitas. Homo sendiri berasal dari Bahasa Yunani yang berarti sama, dan
seks yang berarti jenis kelamin. Istilah ini menunjukkan penyimpangan kebiasaan
seksual seseorang yang menyukai jenisnya sendiri, misalnya pria menyukai pria
atau wanita menyukai wanita. Sedangkan istilah lesbi sendiri diambil dari nama
Pulau Lesbos, pulau ditegah lautan Egeis di zaman kuno yang hanya di huni oleh
wanita. Disana juga terdapat penyair bernama
Shappo yang hampir setiap harinya
menulis puisi cinta untuk kawan perempuannya. Puisi ini dianggap berisi
erotisme dan mengarah pada ajakan hubungan sesama jenis.
Benih-benih penyimpangan ini
perlahan-lahan kembali tumbuh dan mekar. Hal ini ditandai dengan peristiwa huru hara Stonewall pada tahun 1969. Dimana agenda
utama mereka saat itu adalah berusaha mempublikasikan keberadaan mereka (gay
dan lesbi). Arus LGBT semakin deras dengan munculnya OLGA (International
Lesbian and Gay Association) di Dulbin, Irlandia serta asosiasi-asosiasi
lainnya yang memfasilitasi dan memotori gerak aktivis LGBT. Kemaksiatan ini
akhirnya menimbulkan masalah baru, tepat pada tahun 1981 muncul gejala penyakit
baru yang kemudian dikenal dengan AIDS. Penyakit ini pertama kali ditemukan
dikalangan gay di kota-kota besar di Amerika.
Di Indonesia sendiri, LGBT
diperkirakan mulai muncul pada tahun 1969 yang ditandai dengan munculnya
asosiasi HIWAD ( Himpunan Wadam Jakarta) yang difasilitasi oleh Gubernur
DKI saat itu, Ali Sadikin. Namun
asosiasi ini masih bersifat tertutup, barulah pada tahun 1982 organisasi gay
terbuka pertama di Indonesia dan Asia bernama Lambda Indonesia dengan sekretariat
di Solo. Kemudian disusul dengan asosiasi-asosiasi lainnya diberbagai kota-kota
besar di Indonesia. Semakin hari, LGBT semakin mendapat perhatian dan dukungan,
ia yang dulunya dianggap sebagai bentuk penyimpangan dan salah satu penyakit, resmi
dianggap sebagai sebuah kebebasan ketika akhirnya WHO menghapuskan homoseksual
sebagai kategori penyakit mental pada pserayaan hari IDAHOT Internasional Melawan Homofibia dan
transgender (17 Mei 1990) .
Kebebasan serupa juga diakui oleh Belanda
(2001), ia menjadi negara pertama yg mengesahkan perkawinan untuk semua orang
(termasuk lesbi dan gay). Dukungan ini juga semakin menguat ketika katedral
nasional AS (2013) untuk pertama kalinya melaksanakan perkawinan sesama jenis. Maka
hari ini kampanye pelangi tak lagi dianggap tabu. Pelakunya tak lagi dianggap
aneh, sebagian justru beranggapan bahwa inilah HAM, dan mereka layak dihormati
sebagaimana manusia lainnya.
Jika kita cermati sebenarnya
perilaku homoseksual, lesbian, transgender dan biseksual tidaklah lahir begitu
saja. Ia bukanlah penyakit genetik yang dibawa manusia sejak lahir. Sama sekali
bukan. Berbagai penelitian yang diakukan oleh para ilmuwan tak mampu menunjukkan
adanya kelainan genetik yang menyebabkan timbulnya penyakit atau penyimpangan
semacam LGBT tersebut. Penyimpangan tersebut jelas bertentangan dengan fitrah
dasar manusia. Penyimpangan tersebut justru lahir dari akar permasalahan yang
kompleks bernama ‘kebebasan’. Ya kebebasan telah memberi ruang kosong yang bebas
diisi dengan keinginan dan hawa nafsu manusia. Kebebasan telah melepas simpul
pegangan manusia yang membuatnya terombang-ambing tanpa arah, tanpa tujuan dan
panduan yang jelas. Ketika batas-batas aturan dan panduan disingkirkan jadilah
pergaulan sebebas-bebasnya. Keterjagaan aurat antar sesama jenis tak lagi
dihiraukan, batasan pergaulan dicampakkan hingga kejemuan menjalin hubunga
dengan lawan jenis yang seringkali mengalami kegagalan membuat manusia dengan
sifat dasar keingintahuannya mencoba mencari alternatif baru melalui hubungan
sesama jenis. Naudzubillahi min dzalik.
Islam dengan segala kesempurnaannya
jelas menawarkan konsep yang berbeda. Islam memiliki obat pencegah yang ampuh
dimulai dari pola pengasuhan anak yang sesuai fitrahnya sebagaimana hadits yang
menyatakan bahwa Nabi SAW melaknat laki-laki yang berlagak wanita dan wanita yg
berlagak meniru laki-laki (H.R Bukhari no. 5885, 6834). Maka dalam islam jelas,
anak laki-laki haruslah di didik sesuai dengan karakternya sebagai laki-laki,
di kenalkan dengan lingkungan bermain laki-laki dan hukum-hukum terkait hak dan
kewajibannya sebagai lelaki, begitupun sebaliknya. Islam juga dengan tegas
mengatur hubungan pergaulan manusia baik antara laki-laki dengan perempuan,
maupun antara perempuan dengan perempuan atau laki-laki dengan laki-laki. Bagaimana
adab bergaul terhadap keduanya, bagaimana batasan aurat yang harus dijaga
dengan seperangkat aturan lainnya. Selain itu islam juga menjamim tersalurnya
kebutuhan biologis manusia melalui hubungan pernikahan yang halal bukan dengan
permainan bernama pacaran yang seringkali menuai kegagalan yang menyisakan traumatik
akan hubungan antar lawan jenis. Dengan segala keteraturan tersebut akan kita jumpai
kebahagiaan yang semestinya karena terpenuhinya fitrah manusia secara benar dan
menentramkan sehingga perilaku semacam LGBT tak perlu lagi dijumpai. Sebab
islam dengan tegas melarang perilaku semacam itu sebagaimana dalam hadits yang
mengatakan “Siapa saja yang kalian temukan melakukan perbuatan kaum Luth
(homoseksual) maka bunuhlah pelaku dan pasangannya” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi,
Ibnu Majjah, al-hakim, al-Baihaqi) .
Oleh karena itu jejak LGBT sama
sekali tak patut untuk diikuti, bahkan wajib dihindari dan dimusuhi. Tak ada
kata toleransi, karena perilaku LGBT jelas perbuatan keji yang dapat mengundang
azab Allah, disamping itu ia juga akan mengancam kelestarian peradaban jika
terus dibiarkan dan dilegalkan. Mari kembali kepada islam yang menawarkan
kedamaian dan ketentraman dalam mengatur hubungan pergaulan manusia. Hal ini
tentunya membutuhkan usaha dan kerja keras dari kita semua untuk turut
bahu-membahu membersihkan pemahaman kaum muslim dari virus-virus kebebasan yang
tanpa batas dan aturan yang jelas. Selain usaha maksimal dari individu dan
jama’ah kita tentu juga memerlukan keteduhan dan perlindungan dari pemerintah
yang menjamin tatanan kehidupan bermasyarakat yang islami dibawah naungan
negara berideologi islam bernama Khilafah Rasyidah.
0 comments :
Post a Comment