Friday, January 29, 2016

Jejak LGBT, Haruskah Diikuti dan Diberi Toleransi...?


LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) menjadi salah satu isu populer yang kini hangat diperbincangkan. LGBT kini mulai meminta ruang untuk eksistensi dan toleransi dari masyarakat. Tak ayal lagi, kampanye bendera pelangi mulai bertebaran di sana-sini, menyulut kontroversi dengan beragam opini. Namun, tunggu dulu kawan sebelum kita asyik berdikusi, mari menoleh sejenak mengungkap misteri dan jejak kaki dari perjalanan kaum pelangi ini.
LGBT merupakan salah satu bentuk penyimpangan seksual yang ada ditengah masyarakat. Bukan hanya sekarang, bahkan berabad-abad sebelum kita mengenal akronim tersebut, sejarah telah mencatat keberadaannya. Awal mula penyimpangan ini terjadi pada masa kaum Nabi Luth yang tinggal di daerah Sodom dan Gomorah. Pada saat itu kebanyakan kaum perempuannya lebih menyukai melakukan hubungan dengan sesama jenis dibandingkan dengan lawan jenisnya. Diduga penamaan kaum Sodomi ini diambil dari nama daerah dimana mereka tinggal yakni Kota Sodom atau yang sekarang kita kenal dengan Laut Mati yang terletak diantara  perbatasan Israel dan Yordania. Seruan dari Nabi Luth agar mereka meninggalkan kemaksiatan tersebut justru diabaikan, hingga turunlah azab Allah yang kian pedih kepada Kaum Sodom. Mereka dimusnahkan dalam waktu sekejap saja. Berhamburan bagai debu yang diterbangkan angin. Kisah yang tak jauh berbeda juga terulang di Pompei, Italia. Akibat ulah maksiat mereka, Allah mengazabnya dengan ledakkan Gunung Venesius yang menyemburkan lava panas yang meluluhlantakkan peradaban mereka. Dikemudian hari fosil-fosil mereka ditemukan dalam keadaan yang begitu menjijikkan. Dalam posisi bersetubuh antara sesama jenis, Nau’dzubillahi min dzalik.
Dalam peradaban modern, istilah homoseksual baru dikenal pada tahun 1869 ketika D.R K.M Kertbeny yang berkebangsaan Jerman-Hongaria menciptakan istilah homoseks atau homo seksualitas. Homo sendiri berasal dari Bahasa Yunani yang berarti sama, dan seks yang berarti jenis kelamin. Istilah ini menunjukkan penyimpangan kebiasaan seksual seseorang yang menyukai jenisnya sendiri, misalnya pria menyukai pria atau wanita menyukai wanita. Sedangkan istilah lesbi sendiri diambil dari nama Pulau Lesbos, pulau ditegah lautan Egeis di zaman kuno yang hanya di huni oleh wanita. Disana juga terdapat penyair bernama  Shappo yang  hampir setiap harinya menulis puisi cinta untuk kawan perempuannya. Puisi ini dianggap berisi erotisme dan mengarah pada ajakan hubungan sesama jenis.
Benih-benih penyimpangan ini perlahan-lahan kembali tumbuh dan mekar. Hal ini ditandai dengan  peristiwa huru hara  Stonewall pada tahun 1969. Dimana agenda utama mereka saat itu adalah berusaha mempublikasikan keberadaan mereka (gay dan lesbi). Arus LGBT semakin deras dengan munculnya OLGA (International Lesbian and Gay Association) di Dulbin, Irlandia serta asosiasi-asosiasi lainnya yang memfasilitasi dan memotori gerak aktivis LGBT. Kemaksiatan ini akhirnya menimbulkan masalah baru, tepat pada tahun 1981 muncul gejala penyakit baru yang kemudian dikenal dengan AIDS. Penyakit ini pertama kali ditemukan dikalangan gay di kota-kota besar di Amerika.
Di Indonesia sendiri, LGBT diperkirakan mulai muncul pada tahun 1969 yang ditandai dengan munculnya asosiasi HIWAD ( Himpunan Wadam Jakarta) yang difasilitasi oleh Gubernur DKI  saat itu, Ali Sadikin. Namun asosiasi ini masih bersifat tertutup, barulah pada tahun 1982 organisasi gay terbuka pertama di Indonesia dan Asia bernama Lambda Indonesia dengan sekretariat di Solo. Kemudian disusul dengan asosiasi-asosiasi lainnya diberbagai kota-kota besar di Indonesia. Semakin hari, LGBT semakin mendapat perhatian dan dukungan, ia yang dulunya dianggap sebagai bentuk penyimpangan dan salah satu penyakit, resmi dianggap sebagai sebuah kebebasan ketika akhirnya WHO menghapuskan homoseksual sebagai kategori penyakit mental pada pserayaan hari  IDAHOT Internasional Melawan Homofibia dan transgender (17 Mei 1990) .
Kebebasan serupa juga diakui oleh Belanda (2001), ia menjadi negara pertama yg mengesahkan perkawinan untuk semua orang (termasuk lesbi dan gay). Dukungan ini juga semakin menguat ketika katedral nasional AS (2013) untuk pertama kalinya melaksanakan perkawinan sesama jenis. Maka hari ini kampanye pelangi tak lagi dianggap tabu. Pelakunya tak lagi dianggap aneh, sebagian justru beranggapan bahwa inilah HAM, dan mereka layak dihormati sebagaimana manusia lainnya.
Jika kita cermati sebenarnya perilaku homoseksual, lesbian, transgender dan biseksual tidaklah lahir begitu saja. Ia bukanlah penyakit genetik yang dibawa manusia sejak lahir. Sama sekali bukan. Berbagai penelitian yang diakukan oleh para ilmuwan tak mampu menunjukkan adanya kelainan genetik yang menyebabkan timbulnya penyakit atau penyimpangan semacam LGBT tersebut. Penyimpangan tersebut jelas bertentangan dengan fitrah dasar manusia. Penyimpangan tersebut justru lahir dari akar permasalahan yang kompleks bernama ‘kebebasan’. Ya kebebasan telah memberi ruang kosong yang bebas diisi dengan keinginan dan hawa nafsu manusia. Kebebasan telah melepas simpul pegangan manusia yang membuatnya terombang-ambing tanpa arah, tanpa tujuan dan panduan yang jelas. Ketika batas-batas aturan dan panduan disingkirkan jadilah pergaulan sebebas-bebasnya. Keterjagaan aurat antar sesama jenis tak lagi dihiraukan, batasan pergaulan dicampakkan hingga kejemuan menjalin hubunga dengan lawan jenis yang seringkali mengalami kegagalan membuat manusia dengan sifat dasar keingintahuannya mencoba mencari alternatif baru melalui hubungan sesama jenis. Naudzubillahi min dzalik.
Islam dengan segala kesempurnaannya jelas menawarkan konsep yang berbeda. Islam memiliki obat pencegah yang ampuh dimulai dari pola pengasuhan anak yang sesuai fitrahnya sebagaimana hadits yang menyatakan bahwa Nabi SAW melaknat laki-laki yang berlagak wanita dan wanita yg berlagak meniru laki-laki (H.R Bukhari no. 5885, 6834). Maka dalam islam jelas, anak laki-laki haruslah di didik sesuai dengan karakternya sebagai laki-laki, di kenalkan dengan lingkungan bermain laki-laki dan hukum-hukum terkait hak dan kewajibannya sebagai lelaki, begitupun sebaliknya. Islam juga dengan tegas mengatur hubungan pergaulan manusia baik antara laki-laki dengan perempuan, maupun antara perempuan dengan perempuan atau laki-laki dengan laki-laki. Bagaimana adab bergaul terhadap keduanya, bagaimana batasan aurat yang harus dijaga dengan seperangkat aturan lainnya. Selain itu islam juga menjamim tersalurnya kebutuhan biologis manusia melalui hubungan pernikahan yang halal bukan dengan permainan bernama pacaran yang seringkali menuai kegagalan yang menyisakan traumatik akan hubungan antar lawan jenis. Dengan segala keteraturan tersebut akan kita jumpai kebahagiaan yang semestinya karena terpenuhinya fitrah manusia secara benar dan menentramkan sehingga perilaku semacam LGBT tak perlu lagi dijumpai. Sebab islam dengan tegas melarang perilaku semacam itu sebagaimana dalam hadits yang mengatakan “Siapa saja yang kalian temukan melakukan perbuatan kaum Luth (homoseksual) maka bunuhlah pelaku dan pasangannya” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majjah, al-hakim, al-Baihaqi) .

Oleh karena itu jejak LGBT sama sekali tak patut untuk diikuti, bahkan wajib dihindari dan dimusuhi. Tak ada kata toleransi, karena perilaku LGBT jelas perbuatan keji yang dapat mengundang azab Allah, disamping itu ia juga akan mengancam kelestarian peradaban jika terus dibiarkan dan dilegalkan. Mari kembali kepada islam yang menawarkan kedamaian dan ketentraman dalam mengatur hubungan pergaulan manusia. Hal ini tentunya membutuhkan usaha dan kerja keras dari kita semua untuk turut bahu-membahu membersihkan pemahaman kaum muslim dari virus-virus kebebasan yang tanpa batas dan aturan yang jelas. Selain usaha maksimal dari individu dan jama’ah kita tentu juga memerlukan keteduhan dan perlindungan dari pemerintah yang menjamin tatanan kehidupan bermasyarakat yang islami dibawah naungan negara berideologi islam bernama Khilafah Rasyidah. 

0 comments :

Post a Comment