Friday, January 29, 2016

Jejak LGBT, Haruskah Diikuti dan Diberi Toleransi...?


LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) menjadi salah satu isu populer yang kini hangat diperbincangkan. LGBT kini mulai meminta ruang untuk eksistensi dan toleransi dari masyarakat. Tak ayal lagi, kampanye bendera pelangi mulai bertebaran di sana-sini, menyulut kontroversi dengan beragam opini. Namun, tunggu dulu kawan sebelum kita asyik berdikusi, mari menoleh sejenak mengungkap misteri dan jejak kaki dari perjalanan kaum pelangi ini.
LGBT merupakan salah satu bentuk penyimpangan seksual yang ada ditengah masyarakat. Bukan hanya sekarang, bahkan berabad-abad sebelum kita mengenal akronim tersebut, sejarah telah mencatat keberadaannya. Awal mula penyimpangan ini terjadi pada masa kaum Nabi Luth yang tinggal di daerah Sodom dan Gomorah. Pada saat itu kebanyakan kaum perempuannya lebih menyukai melakukan hubungan dengan sesama jenis dibandingkan dengan lawan jenisnya. Diduga penamaan kaum Sodomi ini diambil dari nama daerah dimana mereka tinggal yakni Kota Sodom atau yang sekarang kita kenal dengan Laut Mati yang terletak diantara  perbatasan Israel dan Yordania. Seruan dari Nabi Luth agar mereka meninggalkan kemaksiatan tersebut justru diabaikan, hingga turunlah azab Allah yang kian pedih kepada Kaum Sodom. Mereka dimusnahkan dalam waktu sekejap saja. Berhamburan bagai debu yang diterbangkan angin. Kisah yang tak jauh berbeda juga terulang di Pompei, Italia. Akibat ulah maksiat mereka, Allah mengazabnya dengan ledakkan Gunung Venesius yang menyemburkan lava panas yang meluluhlantakkan peradaban mereka. Dikemudian hari fosil-fosil mereka ditemukan dalam keadaan yang begitu menjijikkan. Dalam posisi bersetubuh antara sesama jenis, Nau’dzubillahi min dzalik.
Dalam peradaban modern, istilah homoseksual baru dikenal pada tahun 1869 ketika D.R K.M Kertbeny yang berkebangsaan Jerman-Hongaria menciptakan istilah homoseks atau homo seksualitas. Homo sendiri berasal dari Bahasa Yunani yang berarti sama, dan seks yang berarti jenis kelamin. Istilah ini menunjukkan penyimpangan kebiasaan seksual seseorang yang menyukai jenisnya sendiri, misalnya pria menyukai pria atau wanita menyukai wanita. Sedangkan istilah lesbi sendiri diambil dari nama Pulau Lesbos, pulau ditegah lautan Egeis di zaman kuno yang hanya di huni oleh wanita. Disana juga terdapat penyair bernama  Shappo yang  hampir setiap harinya menulis puisi cinta untuk kawan perempuannya. Puisi ini dianggap berisi erotisme dan mengarah pada ajakan hubungan sesama jenis.
Benih-benih penyimpangan ini perlahan-lahan kembali tumbuh dan mekar. Hal ini ditandai dengan  peristiwa huru hara  Stonewall pada tahun 1969. Dimana agenda utama mereka saat itu adalah berusaha mempublikasikan keberadaan mereka (gay dan lesbi). Arus LGBT semakin deras dengan munculnya OLGA (International Lesbian and Gay Association) di Dulbin, Irlandia serta asosiasi-asosiasi lainnya yang memfasilitasi dan memotori gerak aktivis LGBT. Kemaksiatan ini akhirnya menimbulkan masalah baru, tepat pada tahun 1981 muncul gejala penyakit baru yang kemudian dikenal dengan AIDS. Penyakit ini pertama kali ditemukan dikalangan gay di kota-kota besar di Amerika.
Di Indonesia sendiri, LGBT diperkirakan mulai muncul pada tahun 1969 yang ditandai dengan munculnya asosiasi HIWAD ( Himpunan Wadam Jakarta) yang difasilitasi oleh Gubernur DKI  saat itu, Ali Sadikin. Namun asosiasi ini masih bersifat tertutup, barulah pada tahun 1982 organisasi gay terbuka pertama di Indonesia dan Asia bernama Lambda Indonesia dengan sekretariat di Solo. Kemudian disusul dengan asosiasi-asosiasi lainnya diberbagai kota-kota besar di Indonesia. Semakin hari, LGBT semakin mendapat perhatian dan dukungan, ia yang dulunya dianggap sebagai bentuk penyimpangan dan salah satu penyakit, resmi dianggap sebagai sebuah kebebasan ketika akhirnya WHO menghapuskan homoseksual sebagai kategori penyakit mental pada pserayaan hari  IDAHOT Internasional Melawan Homofibia dan transgender (17 Mei 1990) .
Kebebasan serupa juga diakui oleh Belanda (2001), ia menjadi negara pertama yg mengesahkan perkawinan untuk semua orang (termasuk lesbi dan gay). Dukungan ini juga semakin menguat ketika katedral nasional AS (2013) untuk pertama kalinya melaksanakan perkawinan sesama jenis. Maka hari ini kampanye pelangi tak lagi dianggap tabu. Pelakunya tak lagi dianggap aneh, sebagian justru beranggapan bahwa inilah HAM, dan mereka layak dihormati sebagaimana manusia lainnya.
Jika kita cermati sebenarnya perilaku homoseksual, lesbian, transgender dan biseksual tidaklah lahir begitu saja. Ia bukanlah penyakit genetik yang dibawa manusia sejak lahir. Sama sekali bukan. Berbagai penelitian yang diakukan oleh para ilmuwan tak mampu menunjukkan adanya kelainan genetik yang menyebabkan timbulnya penyakit atau penyimpangan semacam LGBT tersebut. Penyimpangan tersebut jelas bertentangan dengan fitrah dasar manusia. Penyimpangan tersebut justru lahir dari akar permasalahan yang kompleks bernama ‘kebebasan’. Ya kebebasan telah memberi ruang kosong yang bebas diisi dengan keinginan dan hawa nafsu manusia. Kebebasan telah melepas simpul pegangan manusia yang membuatnya terombang-ambing tanpa arah, tanpa tujuan dan panduan yang jelas. Ketika batas-batas aturan dan panduan disingkirkan jadilah pergaulan sebebas-bebasnya. Keterjagaan aurat antar sesama jenis tak lagi dihiraukan, batasan pergaulan dicampakkan hingga kejemuan menjalin hubunga dengan lawan jenis yang seringkali mengalami kegagalan membuat manusia dengan sifat dasar keingintahuannya mencoba mencari alternatif baru melalui hubungan sesama jenis. Naudzubillahi min dzalik.
Islam dengan segala kesempurnaannya jelas menawarkan konsep yang berbeda. Islam memiliki obat pencegah yang ampuh dimulai dari pola pengasuhan anak yang sesuai fitrahnya sebagaimana hadits yang menyatakan bahwa Nabi SAW melaknat laki-laki yang berlagak wanita dan wanita yg berlagak meniru laki-laki (H.R Bukhari no. 5885, 6834). Maka dalam islam jelas, anak laki-laki haruslah di didik sesuai dengan karakternya sebagai laki-laki, di kenalkan dengan lingkungan bermain laki-laki dan hukum-hukum terkait hak dan kewajibannya sebagai lelaki, begitupun sebaliknya. Islam juga dengan tegas mengatur hubungan pergaulan manusia baik antara laki-laki dengan perempuan, maupun antara perempuan dengan perempuan atau laki-laki dengan laki-laki. Bagaimana adab bergaul terhadap keduanya, bagaimana batasan aurat yang harus dijaga dengan seperangkat aturan lainnya. Selain itu islam juga menjamim tersalurnya kebutuhan biologis manusia melalui hubungan pernikahan yang halal bukan dengan permainan bernama pacaran yang seringkali menuai kegagalan yang menyisakan traumatik akan hubungan antar lawan jenis. Dengan segala keteraturan tersebut akan kita jumpai kebahagiaan yang semestinya karena terpenuhinya fitrah manusia secara benar dan menentramkan sehingga perilaku semacam LGBT tak perlu lagi dijumpai. Sebab islam dengan tegas melarang perilaku semacam itu sebagaimana dalam hadits yang mengatakan “Siapa saja yang kalian temukan melakukan perbuatan kaum Luth (homoseksual) maka bunuhlah pelaku dan pasangannya” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majjah, al-hakim, al-Baihaqi) .

Oleh karena itu jejak LGBT sama sekali tak patut untuk diikuti, bahkan wajib dihindari dan dimusuhi. Tak ada kata toleransi, karena perilaku LGBT jelas perbuatan keji yang dapat mengundang azab Allah, disamping itu ia juga akan mengancam kelestarian peradaban jika terus dibiarkan dan dilegalkan. Mari kembali kepada islam yang menawarkan kedamaian dan ketentraman dalam mengatur hubungan pergaulan manusia. Hal ini tentunya membutuhkan usaha dan kerja keras dari kita semua untuk turut bahu-membahu membersihkan pemahaman kaum muslim dari virus-virus kebebasan yang tanpa batas dan aturan yang jelas. Selain usaha maksimal dari individu dan jama’ah kita tentu juga memerlukan keteduhan dan perlindungan dari pemerintah yang menjamin tatanan kehidupan bermasyarakat yang islami dibawah naungan negara berideologi islam bernama Khilafah Rasyidah. 

Akulah Tanah,

Akulah tanah yang basah 
Oleh desah tangis dan amarah
Lelah oleh banjir darah yang memerah
Sampai kapan aku harus mengalah..?
Ahh...
Manusia bertuah....
Janji kehidupan diingkari begitu mudah
Meski nikmat Allah tak mampu ia bantah
Namun masih saja berkubang dalam lembah
Menyembah berhala bernama gharizah
Dan akalpun menjadi lumpuh
Hingga kegelapan menjadi lumrah
Kemaksiatan berlimpah ruah
.........................
Ingin ku memekik tumpahkan pedih
Apa daya akulah tanah,
Ya Allah,,
Bukankah Engkau melihatnya...?
Maka akhirilah Ya Allah...
Akhirilah semua ini dengan sentuhan kasihMu
Rengkuh kami dalam NashrullahMu
Dengan terbuktinya wa'dullah dan bisyarah Rasulullah
Akan kembalinya perisai agung bernama KHILAFAH


Thursday, January 28, 2016

Hijab is My Identity


Aku begitu tertarik dengan negeri matahari terbit, entah sejak kapan mulainya. Satu hal yang begitu pasti adalah aku terus jatuh cinta dengan negeri matahari terbit itu meskipun kini sudah menempuh pendidikan S1 di jurusan teknologi idustri pertanian di kampus yang katanya menjadi idaman banyak orang. Kampus dengan almameter berwarna biru dongker, yang biasa disebut dengan nama kampus pertanian. Sebenarnya usai menempuh jenjang Sekolah Menengah Atas, aku ingin sekali melanjutkan kuliah di Jepang, tapi sepertinya takdir berkata lain. Kedua orangtuaku tidak mengizinkan dengan pertimbangan jarak dan masalah ekonomi. Memasuki tahun kedua di kampus pertanian ini, aku masih menyimpan mimpi itu, masih sama bergairahnya dengan dulu untuk bisa kuliah di negeri sakura itu. Ah, jika tak bisa sarjana disana, pasca sarjana pun tak apa, tapi terlalu lama rasanya. Ah, menunggu memang selalu begitu.
Aku masih berkutat didepan laptop. Sibuk. Tanganku dengan gesit memasukkan keyword ‘pengalaman kuliah di Jepang’ di kolom search engine. “Aih, ini dia yang ku cari” Seruku girang. Ternyata alumni kampusku juga ada yang mendapat beasiswa ke Jepang. Harapanku kembali bersinar “If he can, why i can’t...?” . Ia memperoleh beasiswa U to U. Program beasiswa ini adalah program beasiswa U to U antara IPB dengan Tokyo University of Agriculture atau yang biasanya dikenal dengan sebutan Tokyo Nodai (singkatan dari Toukyou Nougyou Daigaku). Program ini adalah program S1 yang sepenuhnya dibiayai oleh Tokyo Nodai, di mana setiap tahunnya di bawah program yang diberi nama Special Foreign Student Scholarship (特別留学生-tokubetsu ryuugakusei), Nodai menerima 1-2 orang mahasiswa asing dari berbagai sister-university.
Untuk Indonesia, sister-university Nodai dalam program ini adalah IPB. Biasanya setiap tahun IPB melakukan seleksi dan kemudian mengirimkan 2 orang mahasiswanya yang terpilih untuk menyelesaikan program S1 di sana. Tingkat berapa pun mahasiswa yang terpilih, nantinya akan memulai kembali dari awal semester 1. Namun SKS yang sudah didapat bisa ditransfer sehingga dapat membantu mengurangi jumlah SKS yang diperlukan untuk kelulusan.
3 bulan kemudian
Setelah 1 bulan yang lalu disibukkan dengan perburuan beasiswa. Seminggu yang lalu disibukkan dengan kertas dan berkas-berkas penting. Kini perjuanganku terbayar sudah. Ya, hari ini aku menginjakkan kaki di negeri matahari terbit. ‘Hadza min fadli Rabbi’ bisikku mengucap syukur.
Hari-hari pertama di Jepang, aku belajar banyak hal, beradaptasi dengan lingkungan, makanan, cuaca dan tentunya juga bahasa. Baju dingin menjadi salah satu pakaian wajib di musim dingin ini. Untuk masalah bahasa sendiri, aku rutin mengikuti kursus bahasa Jepang mengingat program beasiswa U to U tidak menyediakan program bimbingan belajar bahasa dan budaya ditahun pertama seperti beasiswa lainnya.
Di Jepang, aku menemukan orang-orang begitu sibuk. Semua waktu digunakan dengan baik, untuk les, belajar,kerja dsb. Waktu kerja karyawan di Jepang berkisar sekitar 18 jam. Untuk perkuliahan tak jarang kami masuk jam 07.00 a.m dan harus pulang jam 10.00 pm. Bisa dikatakan orang Jepang adalah orang-orang yang gila kerja dan belajar, tak heran tentunya mereka bisa begitu cerdas dan maju. Satu lagi budaya Jepang yang tak kalah unik dan luarbiasa adalah budaya disiplin. Budaya ini terlihat jelas telah mengakar di masyarakat, mulai dari jam masuk kuliah, jam buka toko, sampai pemberangkatan kereta semuanya terjadwal dengan pasti, tidak lebih dan tidak kurang. Persis tepat. Orang Jepang tidak menerima alasan untuk keterlambatan apalagi dengan dalih bahwa jam kita lebih lambat, karena pengaturan waktu di Jepang sama persis untuk seluruh wilayahnya.
Di Tokyo Nodai, aku mendapat teman-teman yang juga sangat baik, baik sesama mahasiswa asing maupun mahasiswa asli Jepang. Mereka cukup ramah dan sangat toleransi dengan perbedaan. Mereka juga mengajariku bahasa Jepang dan menceritakan banyak hal tentang Jepang mulai dari budaya, makanan khas dan sebagainya. Di akhir pekan yang tidak sibuk mereka dengan senang hati mengajakku berlibur, mulai dari menikmati sushi dan mie ramen di pinggiran kota sampai pergi ke tempat wisata seperti Tokyo Tower, Tokyo Imperial Palace dan lainnya. Minggu ini Terumi juga berencana mengajakku ke kuil Sensoji, kuil tertua di Tokyo. Sebenarnya aku tidak begitu tertarik dengan ajakannya.
“Kuil...?” tanyaku memastikan.
“Ya, jangan kira kuil hanya bangunan sejarah atau tempat ibadah saja, di sensoji selain bangunan kuilnya yang tua, disana ada banyak tempat menarik lho Rara-chan. Disana ada Ojoin (perpustakaan dan ruang sekolah), dan taman yang indah. Sebelum masuk  Kannondo Hall  kita juga bisa berkunjung ke Nakamise Douri (Nakamise Shopping Street) yang terletak di sepanjang Nakamise Street.” Jelas Terumi panjang lebar.
“Ada banyak souvenir dan juga makanan disana, harganya juga murah-murah. Dan yang tak kalah menariknya kita juga bisa meramal keberuntungan kita. Ramalan kuil sensoji terkenal ketepatannya lho...!” Tambah Miko meyakinkan.
“Baiklah...” jawabku sambil tersenyum. Tak elok rasanya menolak kebaikan mereka.
***
Angin menyapa dengan lembut. Senang rasanya musim dingin telah berlalu. Baju dingin sudah tak lagi menjadi kewajiban dan aku bisa kembali dengan style pakaianku yang biasa. Hari ini kami menggunakan pakaian terbuka untuk merayakan terbebasnya dari baju dingin yang tebal dan menyesakkan itu. Aku menggunakan dress berwarna biru dengan sweater putih. Kami masuk melalui Kaminarimon, gerbang megah yang juga menjadi simbol dari Asakusa (nama lain dari Kuil Sensoji). Di bagian tengahnya terdapat lampion besar yang menjadi ciri khas dari kuil ini. Di kanan dan kiri gerbang terdapat dua patung dewa pelindung, yaitu Raijin (Dewa Petir) dan Fujin (Dewa Angin). Setelah melewati gerbang utama, tibalah kami di  Nakamise Douri. Sebuah jalan sepanjang kurang lebih 200-250 meter. Meski tidak terlalu luas, di Nakamise Douri ini terdapat sekitar 100 toko yang menjual berbagai macam barang, mulai dari aksesoris, fashion, snack, souvenir serta oleh-oleh khas Jepang lainnya. Asyik berburu aksesoris dan jajanan kami melanjutkan perjalanan. Kami memasuki Hozomon Gate yang menjadi pintu masuk Kannondo Hall . Di sebelah kirinya ada pancuran air. Orang-orang yang datang sibuk mencuci mulut dan tangannya dengan air tersebut.
“Ayo kesana...” ajak Miko.
“Untuk apa..? apa kita juga harus mencuci mulut dan tangan seperti mereka..? tanyaku.
“ Ya, untuk membersihkan diri.” Jawabnya.
Aku hanya mengekor, melakukan apa yang mereka lakukan. Hal aneh lainnya yakni banyak orang yang berebut asap dari sebuah dupa besar. Entah untuk apa. Ditambah bau kemenyan yang menyengat. Aku sungguh tidak menyukainya.
“Kemarin kamu bilang sering sakit kepala kan?” Tanya Terumi.
Aku hanya mengangguk.
“Mari kesana, ia menunjuk dupa besar yang mengeluarkan asap itu.”
“Apa hubungannya..?” tanyaku heran.
“ Kami meyakini asap dari dupa itu dapat menyembuhkan apapun dan memberikan kesehatan, makanya orang-orang yang berkunjung ke kuil ini mengusap seluruh badannya dengan asap dari dupa itu. Aku menggelengkan kepala.
“Tidak, aku tidak tertarik, sama sekali tidak logis, bukan?” tanyaku. Alasan yang lebih besar dari semua itu adalah menyangkut keyakinanku sebagai seorang muslim. Hal tersebut jelas bertentangan dengan akidah islam dan masuk ke dalam perkara syirik.
Kuil ini begitu ramai. Lihatlah banyak orang berkumpul mulai dari anak-anak hingga orangtua. Ah, ternyata ditengah kesibukan orang Jepang mereka masih tetap menyempatkan diri untuk beribadah.
“Ah ya, beruntung sekali kita pergi ke kuil hari ini” ucap Terumi
“Ya, aku baru ingat hari ini adalah hari upacara setsubun...” tambah Miko
“Pantas saja ramai, apa itu upacara setsubun...?” tanyaku pada keduanya.
“Ayo, upacara akan segera dimulai.” Miko menarikku ikut membaur ke tengah kerumunan.
Di atas kuil ada seorang laki-laki menggunakan topeng bergambar aneh dengan 2 tanduk di kepalanya. Kalau aku boleh menebak mungkin itu adalah gambar setan. Entahlah. Ku lihat di sekelilingku ramai orang membawa kacang-kacangan seperti kacang kedelai. Terumi yang tadi sempat menghilang kini telah kembali, dan ia juga membawa kacang yang sama.
“Ambil ini .... “ ujarnya sambil memamerkan kacang ditelapak tangannya.
Miko dengan cepat mengambilnya.
Aku menggeleng “ Aku tidak menyukainya...” ujarku pada Terumi.
“No, ini untuk melempar oni Rara chan” jawab Terumi sambil tersenyum
“Oni..?” tanyaku bingung.
“ Ya, pria bertopeng itu” ujarnya sambil menunjuk ke atas kuil.
Aku semakin bingung. “Duh, apaan lagi nih..?”
“Setsubun merupakan upacara yang untuk memperingati pergantian musim, seperti hari ini, pergantiaan antara musim dingin dan musim semi. Nah acara ini bertujuan untuk mengusir arwah jahat dan membawa kebaikan di musim yang baru.” Jelas Terumi.
Orang-orang sibuk melempar kacang sambil membaca mantra "Oni wa soto, fuku wa uchi" (Oni ke luar, keberuntungan ke dalam)
Aku menggeleng dengan tegas “ Maaf aku tidak bisa...”
“Kenapa?” tanya Miko
“Orang hindu, shinto juga sering mengikuti perayaan ini. Angeline yang beragama kristen pun dulu pernah ikut setsubun sekedar untuk senang-senang saja”
“Berbeda dengan mereka aku seorang muslim dan agama kami tak meyakini sesembahan atau ritual seperti itu” jawabku menjelaskan. Mungkin ini salahku karena tidak dari awal memproklamirkan diri sebagai seorang muslim.
“Aku tahu orang muslim tak merayakan setsubun, sepupuku yang seorang muslim pernah mengatakan  hal yang sama. Ia bahkan tidak pernah lagi berkunjung ke kuil setelah memeluk islam. Gomenna Rara-chan aku tidak tahu kau seorang muslim karena kau berbeda dari mereka yang biasanya menggunakan kain penutup kepala” Ujar Miko.
Aku terdiam. Kata-kata itu lebih dari cukup untuk menikamku.
Miko buru-buru melanjutkan kalimatnya. “Tapi itu bukan berarti aku meragukan agamamu Rara-chan, gomenna...” Ia membungkukkan badan ketika mengucapkan frase yang terakhir itu.
***
Miko mengetuk pintu apartemen. Aku terkejut melihat siapa yang keluar. Sesosok lelaki Jepang, dengan lesung pipi yang menawan, tapi bukan itu yang membuatku terkesima. Dia sungguh berbeda dengan lelaki Jepang kebanyakan. Ia memakai baju koko berwarna putih lengkap dengan kopiah hitam dikepalanya, khas sekali menandakan bahwa ia seorang muslim.
“Mari masuk...” ujarnya ramah
“ Yuka-neechan kemana? “ tanya Miko padanya.
“ Sepertinya ia sedang belajar agama bersama teman-temannya, sebentar lagi juga biasanya sudah pulang “
“Ini Rara-chan temanku dari Indonesia, ia juga seorang muslim sama seperti kalian. Ia ingin berkenalan dengan Yuka dan muslim lainnya  di Jepang. “
Aku menjulurkan tangan ingin bersalaman dengannya, ia hanya membalas dengan 2 tangan yang dirapatkan dan diletakkan di depan dada. Aku canggung dan salah tingkah jadinya. Ia seorang muslim yang sangat taat tentunya sehingga tidak ingin bersentuhan dengan yang bukan mahramnya. Ia juga duduk bersebrangan dengan kami.
“Nama Jepangku Ryu, setelah masuk islam aku memutuskan untuk berganti nama menjadi Thariq. Aku lebih senang dengan nama itu, kau tentu mengenal nama itu bukan..? “ tanyanya.
“ Zahra, tentu ia seorang panglima tangguh yang menaklukkan Andalusia di usia 23 tahun. Sungguh prestasi yang luarbiasa. ”
“Assalamu’alaikum..” ucap seorang wanita yang baru masuk itu. Ia sungguh anggun dengan gamis birunya bermotif bunga sakura, ditambah balutan kain kerudung yang menutupi rambut hingga dadanya. Ah, aku kalah telak dari mereka. Meski baru mengenal islam tapi mereka begitu taat, sedangkan aku terlahir sebagai seorang muslim dengan orangtua muslim dan tinggal di negara muslim tapi justru jauh dari islam itu sendiri.
Miko pamit pulang karena ada janji dengan senpai. Thariq juga pamit ke kamar, meninggalkan aku dan Hanifah. Aku berbincang banyak hal dengannya. Aku begitu tertarik dengan cerita dan pengetahuan keislamannya. Ia benar-benar seorang muslimah yang taat dan lurus, persis seperti namanya. Ia juga mengajakku untuk bergabung dengan komunitas muslimah Jepang untuk mendalami islam dan menjalin silaturrahmi.
4 April 2015 di Musim Semi yang hangat..
Awal april adalah momen yang tepat untuk melihat bunga sakura yang mekar (orang jepang biasa menyebutnya sebagai tradisi Hanami). Kami berkumpul di bawah salah satu pohon sakura yang rindang. Menikmati keindahan mankai (bunga sakura telah bermekaran seluruhnya) sambil berbincang-bincang mengenai islam dan menikmati makanan . Aku bersyukur, bukan hanya karena akhirnya aku bisa menikmati Hanami dan menikmati hangatnya musim semi seperti impianku sejak dulu. Kehangatan yang sesungguhnya yakni berkumpul denga saudari-saudari seiman-ku. Perasaanku serasa sesak dengan sakura yang bermekaran. Bahkan apa yang ku rasakan ini lebih indah dari mankai sekalipun. Perasaan bersyukur karena hari ini akhirnya ku putuskan untuk berhijab. Sebuah keharusan yang harusnya telah aku tunaikan sejak dulu. Aku mendapat banyak pencerahan dari Hanifah. Ia mengajarkanku apa makna sebenarnya dari kehidupan, yakni untuk senantiasa beribadah kepada Allah, menjadikan segala aktivitas kita bernilai ibadah dengan meniatkan semuanya karena Allah dan menjalankan seluruh aktivitas kita berdasarkan pedoman Al-Qur’an dan sunnah, termasuk dalam hal berpakaian yakni dengan menutup aurat secara sempurna atau berhijab. Menggunakan jilbab (gamis) sebagaimana perintah Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 59 dan mengenakan kerudung hingga menutupi dada sebagaimana dalam surat An-Nur ayat 31. Awalnya aku berdalih dengan alasan belum siap dan belum mendapat hidayah, sambil tersenyum ia menjelaskan “Banyak dari kita yang hanya mengharapkan hidayah tauqify, padahal ada hidayah yang lebih besar dan lebih dekat denga kita yakni hidayah khalqiyah dan hidayah irsyad wal bayan. “
“Hidayah tauqify yakni hidayah yang Allah turunkan dengan dibukakannya pintu hati kita sehingga tertunjuki pada sebuah kebenaran, tidak semua orang mendapat hidayah jenis ini. Sedangkan hidayah khalqiyah atau hidayah penciptaan yang Allah berikan kepada seluruh insan berupa akal yang dengannya kita dapat berpikir untuk mencari kebenaran. Adapun hidayah irsyad wal bayan yakni berupa Al-Qur’an dan Sunnah yang berisi nasihat dan penjelasan tentang seluruh dimensi kehidupan kita. Nah, masihkah ada alasan untuk kita menolak syari’at Allah sedangkan Allah telah menghadiahkan hidayah tersebut kepada kita? Dan sebagai mahluk yang diciptakan-Nya bukankah sudah sepantasnya kita bertaqwa kepadanya dengan senantiasa beribadah kepada-Nya dan menjalankn seluruh perintah-Nya.”
Aku tersenyum mengenang kalimat hikmahnya itu. Sejak itu aku memutuskan untuk segera berhijab dan berusaha melaksanakan islam secara kaffah. Bagiku hijab adalah sebuah kewajiban sekaligus identitasku sebagai seorang muslim ditengah ras kulit putih ini. Ah, sungguh hanami tahun ini begitu indah rasanya.

Mawar di tengah Belukar


Wanita, sosok yang seringkali dianggap lemah. Dianggap tak berdaya dan seringkali dianiaya. Tak banyak yang tahu dibalik kelemahannya tersimpan sebuah kekuatan, dibalik tangisnya tersimpan keteguhan yang dalam. Salah satu icon menarik dari wanita tangguh yakni Cut Nyak Dien. Wanita berdarah Aceh ini lahir pada tahun 1848 di Daerah Lampadang. Ayahnya, Teuku Nanta Seutia  adalah seorang pejuang tangguh, uleebalang sekaligus komandan perang pada masanya. Ibunya bernama Cut Nyak, seorang wanita hebat yang turut mendukung militansi suaminya. Ia belajar banyak kebijaksanaan dari suaminya dan mendidik Cut Nyak Dien tumbuh menjadi gadis cantik yang cemerlang. Ia pintar, jelita, juga memiliki karakter yang kuat seperti ayahnya, dan hati selembut ibunya.
Paduan dua kepribadian yang sungguh elok antara Cut Nyak dan Teuku Nanta telah mendidik Cut Nyak Dien menjadi wanita luarbiasa. Jika kebanyakan wanita terkenal karena ia jelita, maka lebih dari itu, Cut Nyak Dien bagaikan sebongkah intan yang tidak hanya indah namun kokoh.  Kondisi peperangan yang menyelimuti Tanah Aceh tidak membuatnya gentar. Ia justru mantap merias dirinya dengan ilmu bela diri, belajar memanggul senjata untuk maju ke medan perang. Tanpa takut mati melawan kaphe yang keji, melawan penjajah yang telah merobek kedamaian negeri dan memecah belah kesatuan umat muslim dalam skala yang lebih besar. Mereka menindas, merampas seakan telah hilang otak warasnya. Namun Aceh tak semudah yang mereka pikirkan, banyak pejuang tangguh yang rela membayar jiwanya dengan syahid, mengorbankan apa saja demi kemuliaan negeri dan agama. Tak hanya lelaki, pun sama halnya dengan wanita.
Cut Nyak Dien, ia memilih keluar dari kenyamanan kaum bangsawan, maju menghadapi lawan demi janji kemenangan atau syahid dijalan-Nya. Sungguh itulah harapan Cut Nyak Dien, salah besar jika sebagian orang menganggapnya sebagai bentuk dari emansipasi. Sungguh yang membuat Ia maju dengan berani hanyalah panggilan keimanan, hanya itulah yang membuatnya  mampu menyingkirkan ketakutan, mengesampingkan perasaan kasihannya ketika harus menjadi perantara malaikat izrail. Keteguhannya bahkan membuat kaphe Belanda menaruh perhatian lebih padanya. Mereka tahu Cut Nyak Dien bukanlah wanita biasa, ia berbeda. Ia menjadi sumbu semangat suaminya Teuku Ibrahim, ia juga menjadi obor api yang menyalakan kesadaran kaum perempuan untuk melawan. Jika tidak dengan berperang setidaknya mereka bisa ikut dalam barisan perawat atau dengan menrelakan anak lelakinya ikut berperang. Menyemangati suami mereka untuk terus mengobarkan Perang Sabil sampai penjajah pulang dan mereka menang. Hanya itu pilihannya.
sPeperangan yang tanpa henti akhirnya mencoba menguji nyali Dien dengan syahidnya Teuku Ibrahim dalam dekapan peperangan. Air mata itu tumpah juga, bagaimanapun Dien tetaplah seorang wanita. Namun kesedihan itu tak dibiarkannya menggerogoti jiwa dan keimanannya. Justru kesedihan itu berbuah ketegaran yang semakin kokoh karena ia memahami kalam cinta dari Tuhannya , serta janji keindahan yang lebih abadi sebagaimana termaktub dalam hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Bukhari “Dan ketahuilah bahwa surga itu berada dibawah naungan pedang” . Maka tidak ada alasan untuk meratapi kesedihan sedang ia tahu bahwa suaminya telah dikarunia surga oleh Rabb Semesta Alam.
Setelah kepergian Teuku Ibrahim, datanglah seorang panglima yang tak kalah gagahnya. Panglima dari Meulaboh yang ingin meminangnya dengan segenap hati. Bukan karena kecantikannya, hanya demi satu niat  tulus menjaga bunga pejuang itu. Melindunginya dan membersamainya untuk terus melawan, meski entah harus sampai kapan. Lelaki yang menaruh hormat terhadap Teuku Ibrahim, meski ia tahu saat itu Dien telah menjadi miliknya. Di malam pertamanya ia justru dengan khidmat mengatakan bahwa Ia takkan pernah mungkin menggantikan posisi Teuku Ibrahim di hati Dien, ia tahu itu, namun ia tetap memilih melindungi Dien. Sungguh ksatria sejati yang sulit untuk dicari.
Bersama Teuku Umar, ketangguhan Dien semakin mekar. Mereka mengarungi kebersamaan dalam peperangan. Bahagia mereka sederhana, hanya dengan melihat musuh bersimbah darah, itu lebih dari cukup. Namun peperangan tak kunjung menjanjikan kemenangan dan kedamaian. Semakin hari kaphe-kaphe Belanda semakin kuat mencengkram Aceh. Sejengkal demi sejengkal tanah yang diberkahi itu jatuh dalam kekuasaan mereka. Membuat gentar orang-orang yang dihatinya terbersit keraguan akan janji Allah. Perlahan, jumlah pasukan berkurang, baik karena banyak yang syahid maupun karena adanya keraguan dihati sebagian dari mereka. Waktu dan tantangan telah menyeleksi mereka, menyisakan pejuang tangguh yang benar-benar siap mengabdi pada Allah semata, tanpa terbuai janji dunia yang fana.
Lagi, kenyataan pahit harus diterima oleh Dien. Peperangan lagi-lagi merampas kebahagiaan Dien. Teuku Umar syahid menyusul syahidnya para pejuang-pejuang tangguh lainnya. Peperangan memang tak pernah mengenal belas kasih. Air mata itu jatuh kembali. Namun ia ingat pesan Ibunya, “Pantang bagi kita menangisi orang yang syahid” . Setelah tangisnya reda. Ia hanya diam. Diam dalam kesendirian. Diam dalam keadaan perang yang semakin mencekam. Diam dengan segala tanda tanya yang semakin dalam. Bagaimana nasib Aceh selanjutnya...? Semua hanya diam. Tak ada yang menjawab.
Sepeninggal dua ksatria tangguh serta pejuang-pejuang Aceh lainnya yang turut gugur dalam peperangan tanpa henti. Semakin lama kobaran perang sabil semakin redup. Mereka yang tersisa berusaha untuk terus mengobarkan kembali semangat rakyat  Aceh yang sudah terlampau letih dengan peperangan. Namun keadaan telah banyak berubah. Hingga akhirnya perang sabil benar-benar berubah menjadi perlawanan gerilya. Namun Dien tetap teguh. Tak sedikitpun menyerah, meski kondisi kesehatannya semakin memburuk, peglihatannya mulai kabur. Ia tetap memegang erat pendiriannya, menggenggam kebencian terhadap kaum penjajah tanpa bisa ditawar. Bahkan disaat banyak orang mulai menikmati hidup bersama penjajah dengan segala kebaikan palsu yang mereka torehkan. Dien muak melihatnya, Ia lebih memilih  mengasingka diri di hutan daripada harus hidup berdampingan dengan kaum penjajah yang bengis. Tak seorangpun berhasil membujuknya. Ialah mawar disemak belukar itu. Perlambang wanita tangguh. Jelita yang tak mau menyerah hingga meski semua orang telah berkata “sudah”. Hingga akhirnya, penjajah berhasil menangkapnya. Ia tidak menyerah, masih meraung dengan keberaniannya “Pergi kau kaphe atau ku bunuh kau,”
Sungguh sebuah keberanian yang menggentarkan penjajah. Mereka bahkan memberi gelar kebanggaan dengan memasukkany ke dalam daftar tujuh kategori Warlord Women in the World. Sungguh luar biasa, ialah Cut Nyak Dien, si mawar di tengah belukar. Sosok wanita yang kian menginspirasi, meski banyak yang telah melupakannya. Mari menoleh pada sejarah, melihat kembali fakta yang pernah ada dan menggali banyak pelajaran dan kebijaksanaan dari setiap penggalan kisah yang telah terlewat.

*Catatan
Setelah ditangkap oleh Belanda, Cut Nyak Dien diasingkan di Sumedang dan meninggal pada tahun 1906. Semoga Allah merahmatinya dan menghadiahkan jannah padanya.