PENDAHULUAN
Memahami dalalah menjadi suatu keharusan, mengingat nash syar'i wajib diamalkan sesuai dengan sesuatu yang difahami dari ibaratnya (susunan kalimatnya), atau isyaratnya, atau dalalahnya, atau juga iqtidha'nya. Segala sesuatu yang difahami dari nash dengan salah satu jalan dari empat jalan tersebut, maka ia termasuk di antara madlul (yang ditunjuki) oleh nash, sedangkan nash adalah hujjah atasnya,
"Apabila pengertian yang difahami dengan salah satu jalan tersebut bertentangan dengan pengertian lainnya yang difahami melalui jalan dari jalan-jalan tersebut, maka makna yang difahami dari ibarat dimenangkan atas makna yang difahami melalui isyarat; dan makna yang difahami melalui salah satu dari dua jalan tersebut dimenangkan atas makna yang difahami melalui dalalah ".
Makna yang bersifat garis besar bagi kaidah ini ialah bahwasanya nash syar'i atau perundang-undangan terkadang menunjukkan beberapa makna yang beragam melalui cara dalalah tersebut. Dalalah nash tersebut tidaklah terbatas pada makna yang difahami dari ibaratnya dan huruf-huruf-nya, akan tetapi terkadang pula ia menunjukkan berbagai makna yang difahami dari isyaratnya, dari dalalahnya, dan dari iqtidha'nya.
Maka pemahaman hukum dari nash hanyalah menjadi satu pemahaman yang benar apabila diperhatikan konotasi uslub dalam bahasa Arab dan cara-cara dalalahnya, serta apa yang ditunjuki lafazh-lafazhnya, baik dalam bentuk mufrad maupun murakkab (susunan). Agar kita sampai kepada pemahaman hukum dari nash-nash syar'iyyah dengan suatu pemahaman yang benar, sesuai dengan apa yang difahami oleh bahasa Arab yang nash-nash tersebut datang dengan bahasanya, dan juga menjadi sarana untuk memperjelas nash yang mengandung kesamaran, menghilangkan kontradiksi dan mentakwilkan sesuatu yang menunjukkan untuk pentakwilannya, serta lainnya yang berhubungan dengan pengambilan hukum dari berbagai nashnya.
PEMAPARAN
A. Pengertian Dalalat al-Iqtidha.
Menurut etimoligi dalalah artinya petunjuk dan iqtidha berarti permintaan (al-thalab). Menurut terminologi ulama ushul al-fiqh, dalalah adalah sesuatu pengertian yang ditunjukkan oleh perkataan atau ucapan dan iqtidho berarti penunjukan lafazh terhadap segala perkara makna yang tidak dapat berdiri sendiri kecuali dengan mentakdirkan lafazh yang lain.
Dalalat Iqtidho Menurut Para Ulama
Al-Ghazali dalam kitabnya al-Mustashfa
“Dalalat Iqthido adalah makna lain, bukan yang ditunjukkan oleh perkataan (lafadz), tidak juga diunjukkan ucapan (mantuqan), tetapi makna yang dimaksud adalah makna yang muncul dari apa yang dikehendaki oleh perkataan itu. Makna itu harus ada (sebagai kebutuhan) karena tanpa makna itu tidak mungkin perkataan seseorang dapat dianggap benar. Makna itu harus ada karena tanpa makna itu keberadaan yang diucapkan itu terhalang dari segi syara (tidak punya makna hukum). Makna inti harus ada karena tanpa makna itu akal tidak dapat menerimanya secara logis.”
Abd al-Wahab dalam kitabnya ilmu ushul al-fiqh
“Dalalat al-iqtidha yaitu makna, yang perkataan itu tidak kokoh, kecuali yang telah disebutkan, kata itu secara teks tidak ada, tetapi validitas dan kekokohan maknanya baru muncul jika makna kata itu ditetapkan, demikian juga dari segi kebenaran dan keselarasannya dengan realitas baru muncul jika makna kata itu ditetapkan .”
Ali Hasballah dalam kitab Ushul al-Tasri al-Islami
“Dalalat al-iqtidha yaitu arti perkataan yang dijelaskan dari sesuatu yang secara teks tidak disebut, validitas perkataan itu hanya dapat diketahui jika makna itu ditetapkan, atau makna itu tidak kokoh tanpa memastikan ketetapan maknanya .”
Muhammad Abu al-Yusr Abidin dalam kitabnya muhadlarat fi ushul al-Fiqh al-islami
Dalalat al-iqtidha yaitu menentukan kata yang lain yang tidak disebut secara teks sehingga kata baru itu seakan itulah yang ditetapkan oleh nash. Maksudnya, menjadikan sesuatu yang tidak disebutkan seakan-seakan itulah yang disebutkan, fungsinya untuk membuat yang disebutkan itu (teks) benar.
At-Taftazani
Dalalah al-iqtidha adalah makna lafaz yang ditunjukkan oleh makna di luar teks itu, kebenaran dan validitas lafaz itu secara syari maupun aqli ditentukan oleh makna luar itu. Pendapat lain tentang dalalah al-iqtidha yaitu menjadikan sesuatu yang tidak disebutkan seolah itulah yang disebut, karena hanya dengan cara itulah sehingga yang disebutkan itu terasa benarnya .”
Bisa disimpulkan bahwa dalil al-iqtidha adalah proses dimana seorang pembaca teks atau penafsir dianggap bisa menemukan arti yang benar dari kalimat (teks) setelah ia melakukan beberapa hal. Pertama, dalam penafsiran terhadap teks itu harus memasukkan makna baru yang secara bahasa tidak ada didalam teks sehingga kalimatnya menjadi sempurna maknanya dan dapat dipahami secara benar. Kedua, ,makna yang ia masukkan itu harus sesuai dengan kenyataan yang dikehendaki susunan kalimat (nash atau teks) yang ada dari segi bahasa atau syara atau logika.
B. Contoh Dalalat al-Iqtidha.
Firman Allah swt. Surat al-Maidah ayat 3 :
“Diharamkan bagimu bangkai.”
Pembaca teks akan menangkap makna bahwa yang diharamkan itu tidak berkaitan dengan materinya, tetapi berkaitan dengan perbuatan yang ada kaitan dengan materi itu. Tidak ada kejelasan apakah yang dilarang itu dilihatnya, merabanya, membuangnya. Karena itu perlu ditetapkan maknanya yang secar teks tidak disebut.
Hanya dengan cara itulah sehingga makna yang dimaksud dipahami secara jelas dan kokoh. Jadi perlu ada makna baru dari luar yaitu apa diharamkan memakan bangkai. Memakan itu disebut secara jelas teks di dalam ayat itu, tetapi itulah makna yang dimaksud. Karena itu kata makan itu disandarkan ke teks sesuai dengan yang dituntut. Seakan kata akal atau makan itulah makna tetapnya dalam teks atau tanpa penambahan kata itu, secara makna teks itu tidak jelas maksudnya.contoh lain adalah firman Allah :
Diharamkan bagimu ibumu (an-Nisa :23)
Ayat diatas secara tekstual belum jelas maksudnya. Ibu diharamkan dalam hal apakah itu, melihatnya, menciumnya, tinggal dengannya atau apa. Karena itu dibutuhkan makna yang datang dari luar sehingga secara hukum teks itu menjadi jelas ditangkap dan sipahami maknanya atau maksudnya. Dalam hal ini, dilalat al-iqtidhanya adalah nikah. Jadi diharamkan menikahi ibu.
C. Pembagian Dalalat al-Iqtidha.
Para pakar membagi dilalat al-iqtidha menjadi tiga macam, seperti yang ditulis Hasballah dalam kitabnya Ushul al-Tasri al-Islami (Hasballah, 1391 H/1971 M:278). Pembagiannya yang sama juga yang dilakukan syeikh Khalid Abdurrahman al-Ak .
Keharusan menentukan maknanya agar kalimat itu selaras dengan kenyataan.
sabda rasul :
Sesungguhnya Allah mengangkat dari umatku kesalahan, kelupaan, dan apa-apa yang dia dipaksa melakukannya (H.R ibnu Majah dan al-Baihaqi).
Salah dan lupa tidak mungkin diangkat dari umat manusia, karena itu dua sifat yang terjadi terus pada manusia dan telah terjadi, bagaimana mengangkatnya. Karena itu perlu ditentukan makna yang tidak disebut di teks itu, gunanya agar kalimat itu selaras dengan kenyataan, tidak bertentangan . makna yang perlu dimasukkan itu adalah dosa salah dan lupa. Jadi yang diangkat bukan salah dan lupanya, tetapi dosanya. Demikian juga dengan dosa seseorang yang perbuata (dosa itu) dilakukan karena terpaksa atau dipaksa.
2. keharusan menentukan maknanya, agar kalimat itu benar secara logika.
Seperti firman Allah :
Tanyakanlah negeri yang kami berada di situ, dan kafilah yang kami datang bersama mereka, dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang benar . (Q.S Yusuf : 82).
Secara logika tentu saja tidak bisa bertanya kepada kampung atau rombongan. Keduanya tidak dapat menjawab pernyataan. Karena itu perlu makna luar yaitu penduduk. Jadi yang dimaksud disini adalah bertanya kepada penduduk atau anggota rombongan.
Contoh lain
Biarkanlah ia memanggil tempat perkampungan
Seseorang tentu tidak mungkin memanggil perkampungan, karena kampung tidak bisa menjawab, yang dimaksud disisni adalah penduduk kampung. Dalam ilmu balaghoh gaya seperti ini disebut juga majaz mursal.
3. Keharusan menentukan maknanya agar kalimat itu benar secara syari.
Contohnya firman Allah swt dalam surah an-Nisa : 92 :
“Hendaklah ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman”
Perintah tersebut berkaitan dengan kifarat bagi orang yang membunuh orang mukmin dengan tidak sengaja yaitu memerdekakan budak mukmin. Perintah tersebut perlu makna yang tak dissebut di dalam teks yaitu orang yang mempunyai hamba atau orang yang sanggup memerdekakannya. Karen kalau dia tidak mempunyai hamba atau tidak mempunyai kesanggupan tentulah ia tidak akan bisa melakukan itu.
Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan sebelumnya, dapat kita simpulkan bahwa mempelajari ushul fiqh secara umum, khususnya memahami tentang dalalah, salah satunya adalah dalalah iqtidha adalah hal yang penting agar kita mampu memahami nash Al-Quran dan sunnah secara benar sesuai dengan apa yang difahami oleh bahasa Arab yang nash-nash tersebut datang dengan bahasanya, dan juga menjadi sarana untuk memperjelas nash yang mengandung kesamaran, menghilangkan kontradiksi dan mentakwilkan sesuatu yang menunjukkan untuk pentakwilannya, serta lainnya yang berhubungan dengan pengambilan hukum dari berbagai nashnya.
Adapun pengertian Dalalah al-iqtidha adalah proses dimana seorang pembaca teks atau penafsir dianggap bisa menemukan arti yang benar dari kalimat (teks) setelah ia melakukan beberapa hal. Pertama, dalam penafsiran terhadap teks itu harus memasukkan makna baru yang secara bahasa tidak ada didalam teks sehingga kalimatnya menjadi sempurna maknanya dan dapat dipahami secara benar. Kedua, ,makna yang ia masukkan itu harus sesuai dengan kenyataan yang dikehendaki susunan kalimat (nash atau teks) yang ada dari segi bahasa atau syara atau logika.
Kemudian Dalalah al-iqtidha menjadi tiga macam, yaitu :
Keharusan menentukan maknanya agar kalimat itu selaras dengan kenyataan
keharusan menentukan maknanya, agar kalimat itu benar secara logika.
Keharusan menentukan maknanya agar kalimat itu benar secara syari.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Khalid al-Ak. Ushul al-Tafsir wa Qowaiduhu, Beirut : Dar an-Nafais, 1994.
Alkhin, Musthafa Said. Asar al-Ikhtilaf fi al-Qawaid al-Ushuliyah fi ikhtilaf al-Fuqaha. Beirut: Muassah al-Risalah, 1981.
Bek, Muhammad Khudari. Ushul fiqh. Kairo : al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubro, 1969.
Djazuli, A. dan I. Nurul Aen, Ushul Fiqh, Metodologi Hukum Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2000.
al-Ghazali, Abi Hamid. al-Mustashfa fi ilmi al-Ushul, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1996,
Hasballah, Ali. Ushul al-Tasyri al-Islamiy, Mesir : Dar al-Maarif, 1971.
Khalaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul fiqh, Kairo : Darul Qalam al-Kirbin, 1978.
Musthofa Amin. Ali al-Jarimy dan al-Balaghoh al-Wadhihah, Mesir : Dar al-Maarif, 1957.
Shihab, M.Quraisy. Mukjizat Alquran, Bandung : Mizan, 1999.
Zaid, Nasr Hamid Abu. Tekstualitas Alquran, Yogyakarta : Lkis, 2001.
Zaidan, Abd. Al-Karim. al-Wajiz fi Ushul al-Fiqih. Baghdad : Dar al-Tauzi wa al-Nasyr al-Islamiyah, 1993.